Dampak Konsumsi Kelas Menengah Atas dan Lipstick Effect pada Emiten Ini

Tren Konsumsi di Kalangan Kelas Menengah Atas yang Mengalami Penurunan

Konsumsi di kalangan kelas menengah atas di Indonesia mengalami stagnasi, menurut riset yang dilakukan oleh CGS International Sekuritas Indonesia. Riset ini melibatkan 91 emiten publik dan 104 segmen terkait konsumsi. Dari hasil penelitian tersebut, terlihat adanya pelemahan signifikan pada pengeluaran kategori belanja kebutuhan non-pokok kelas menengah atas.

Analis CGS International Sekuritas Indonesia, Hadi Soegiarto, menjelaskan bahwa median pertumbuhan pendapatan tahunan untuk kategori belanja kebutuhan non-pokok kelas menengah atas mencapai titik 0% pada kuartal II 2025. Hal ini terjadi setelah sebelumnya mengalami perlambatan selama empat kuartal berturut-turut.

Meskipun ada sedikit pergeseran musim hari raya ke kuartal I, Hadi menyatakan bahwa pelemahan konsumsi di segmen menengah ke atas menjadi faktor utama yang memengaruhi kinerja sektor ini. Beberapa sektor yang paling terdampak antara lain penjualan mobil, pusat perbelanjaan kelas menengah ke atas, department store, hotel mewah, dan sektor perjalanan. Bahkan, pertumbuhan konsumsi kelas menengah atas yang sebelumnya unggul kini setara dengan segmen pasar massal (mass market).

Perbankan juga lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit konsumsi karena kekhawatiran terhadap kualitas aset. Di sisi lain, pertumbuhan pendapatan pada segmen kebutuhan non-pokok mass market dan barang konsumsi pokok (FMCG) tetap lemah, namun stabil masing-masing di angka 3% dan 2% secara tahunan. Kinerja yang kurang menggembirakan terlihat pada sektor F&B kelas menengah (dine-in), penjualan data telekomunikasi, sepeda motor, minimarket, minuman kemasan, rokok premium, dan makanan bayi.

Namun, Hadi mencatat fenomena menarik di tengah lemahnya daya beli, yakni masih kuatnya pertumbuhan pada segmen personal care dan kosmetik. Fenomena ini bisa menjadi indikasi adanya Lipstick Effect, di mana konsumen tetap berbelanja produk-produk kecil sebagai bentuk pelarian saat kondisi ekonomi sedang sulit.

Selain itu, segmen makanan olahan dan bumbu masak tetap menunjukkan pertumbuhan yang solid. Menurut Hadi, hal ini kemungkinan disebabkan oleh tren memasak di rumah yang masih bertahan pasca pandemi.

Untuk paruh kedua tahun ini, Hadi memperkirakan pertumbuhan konsumsi akan tetap lesu. Namun, segmen mass market dan kebutuhan pokok dinilai lebih tangguh, berkat potensi stimulus tambahan dan perluasan program makan bergizi gratis. Selain itu, ada potensi stimulus konsumsi lainnya pada semester II tahun ini.

CGS International Sekuritas mempertahankan rekomendasi neutral untuk sektor konsumsi, dengan tiga saham pilihan utama seperti PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) karena membagi dividen yang tinggi. Hadi juga memilih saham PT Mayora Indah Tbk (MYOR) karena diuntungkan penurunan biaya bahan baku. Saham PT Midi Utama Indonesia Tbk (MIDI) juga dipilih karena labanya mulai membaik pasca divestasi Lawson.

Potensi katalis positif bagi sektor ini adalah percepatan implementasi program makanan bergizi gratis yang digagas pemerintah. Atas rekomendasi tersebut, Hadi merinci saham MYOR dianggap menarik karena diperdagangkan dengan valuasi price earning (PE) 15,5 kali untuk tahun 2026. Valuasi ini lebih premium dibandingkan rata-rata sektor sebesar 13,9 kali di tahun depan.

Sementara itu, Midi Utama dinilai menjadi saham yang menarik karena pertumbuhan laba bersih akan naik 33% di tahun 2025 di atas kinerja Sumber Alfaria Trijaya (AMRT) yang tumbuh 11%. Prospek saham UNVR juga menarik karena telah menyelesaikan spin-off bisnis es krimnya pada akhir 2025, yang diperkirakan akan menghasilkan dividen satu kali (one-time dividend) sebesar Rp 3,9 triliun. Jika dikombinasikan dengan dividen reguler, investor diperkirakan menikmati dividend yield total hingga 13% pada semester I 2026.

Harga saham AMRT ditutup di Rp 2.280 per saham, MIDI turun 0,85% di harga Rp 466, dan UNVR naik 0,28% di Rp 1.775 per saham.